Selasa, 03 Juli 2018

Pemberian Nutrisi Dan Hidrasi Pada Pasien Kritis

Dalam dunia kesehatan masalah pemberian nutrisi dan hidrasi pada pasien kritis masih menjadi dilema etik khususnya di Intensive Care Unit (ICU) pada pasien yang mendekati kematian. Mengapa demikian? Sebelumnya perlu diketahui lebih dulu, pasien kritis atau pasien yang mendekati kematian tindakan perawatan sudah berbeda yang awal perawatannya berfokus untuk mengobati pasien berganti dengan meningkatkan kenyamanan pasien dalam menghadapi kematian. Cara meningkatkan kenyamanan pasien saat menghadapi kematian adalah dengan menciptakan kematian dengan damai dengan menghindari resiko bahaya atau komplikasi dari setiap tindakan perawatan yang dilakukan. 

Pemberian nutrisi dan hidrasi itu seperti apa?
Nutrisi merupakan makanan/cairan yang diberikan dengan tiga metode, pertama oral nutrition diberikan melalui mulut menuju lambung, kedua enteral nutrition dengan bantuan selang dari hidung menuju lambung atau pembedahan di area perut dan ketiga parenteral nutrition melalui pembuluh darah, yang tentunya semua bentuk makanan berbeda setiap metode. Hidrasi merupakan cairan/elektrolit yang diberikan tidak melalui mulut tetapi dengan selang dari hidung ke lambung, pembuluh darah dan kulit.

Lalu apa hubungan antara pemberian nutrisi dan hidrasi dengan kanyamanan dan resiko bahaya?
Penelitian yang sudah dilakukan beberapa tahun ini menjelaskan bahwa pada pasien kritis dan mendekati kematian pemberian makanan dan cairan dapat beresiko dapat menyebabkan pasien mengalami kelebihan cairan, sesak nafas, diare, konstipasi dan mual yang disebabkan menurunnya kerja organ-organ tubuh. Selain itu pemasangan alat bantu seperti selang ditubuh mengurangi tingkat kenyamanan pasien dan fakta-fakta yang perlu diketahui bahwa pasien yang mendekati kematian tidak mengalami lapar dan kehausan dan secara fisiologis tidak menunjukan tanda-tanda akan lapar dan haus serta dengan tindakan menghentikan pemberian nutrisi tidak mempercepat proses kematian. 

Dengan keadaan tersebut apakah pemberian nutrisi dihentikan? 
Jawabannya belum tentu, karena apa? Dalam membuat keputusan penghentian nutrisi berhubungan dengan sikap, keyakinan, agama dan budaya dari pasien dan keluarga. Misalnya pasien dan keluarga percaya bahwa dengan penghentian asupan nutrisi dapat mempercepat kematian karena pasien tidak diberikan nutrisi yang cukup untuk bertahan hidup, dari sisi agama dan budaya pasien dan keluarga percaya bahwa wajib memberikan nutrisi bagi pasien mendekati kematian. Maka dalam pemberian nutrisi masih menjadi dilema etik dalam tindakan kesehatan khususnya pasien yang mendekati kematian.

Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut?
Berpedoman pada prinsip etik, pertama menghormati keputusan pasien atau keluarga (autonomy) keputusan itu tidak berarti pasien atau keluarga bebas memutuskan dan semua keinginan dikabulkan, tetapi ada proses yaitu pasien atau keluarga mendapat edukasi, informasi penuh terkait manfaat dan bahaya dalam pemberian nutrisi dan serta saat pengambilan keputusan tidak ada paksaan dan tekanan dari siapapun.
Kedua, memperhatikan manfaat (Beneficence) dan tidak merugikan (Non-Maleficence) bagi pasien. Dengan cara memperhitungkan “keseluruhan manfaat” dari hasil pemberian nutrisi terhadap penyakit, kualitas hidup, psikologis dan spiritual pasien. Jika pemberian nutrisi memiliki resiko dan bahaya lebih besar maka wajib untuk dihentikan.
Ketiga, keadilan (justice) yang mengacu bahwa setiap individu berhak mendapatkan perawatan terbaik, adil dan tanpa diskriminasi. Keadilan juga berarti mendapatkan perawatan yang sama untuk mencapai manfaat yang sebenarnya bagi pasien. Tindakan perawatan yang sia-sia dan hanya memperanjang penderitaan dan fase kematian bagi pasien harus dihindari. 

Bagaimana islam memandang masalah tersebut?
Dari sebuah penelitian menjelaskan, bahwa islam memandang pemberian nutrisi sebagai kebutuhan dasar bukan sebagai pengobatan medis sehingga mewajibkan memberikan nutrisi untuk pasien kritis dan mendekati kematian kecuali jika pemberian nutrisi tersebut mempercepat kematian. Islam juga memperbolehkan menghentikan tindakan apabila lebih berbahaya dan berisiko dari pada manfaat dan jika dirasa hasilnya akan sia-sia. Islam menganjurkan perawatan pada pasien kritis atau mendekati kematian adalah menghindari atau mencegah cidera dan bahaya setiap tindakan yang dilakukan. 
Begitu kompleksnya untuk memutuskan suatu tindakan dalam merawat pasien kritis dan mendekati kematian, banyak faktor-faktor yang perlu diperhatikan sehingga keputusan nantinya bisa dipahami semua pihak. Keputusan yang sudah diambil harus disertai lembar persetujuan dari pasien, keluarga dan pelayanan kesehatan.
Semoga bermanfaat dan terima kasih





DAFTAR PUSTAKA
Alsolamy, S. (2014). Islamic views on artificial nutrition and hydration in terminally Ill patients. Bioethics, 28(2), 96–99. https://doi.org/10.1111/j.1467-8519.2012.01996.x
Devalois, B., & Broucke, M. (2015). [Nutrition and hydration at the end of life]. Presse Medicale (Paris, France : 1983), 44(4 Pt 1), 428–34. https://doi.org/10.1016/j.lpm.2015.02.007
Druml, C., Ballmer, P. E., Druml, W., Oehmichen, F., Shenkin, A., Singer, P., … Bischoff, S. C. (2016). ESPEN guideline on ethical aspects of artificial nutrition and hydration. Clinical Nutrition, 35(3), 545–556. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2016.02.006
Heuberger, R., & Wong, H. (2018). Knowledge, Attitudes, and Beliefs of Physicians and Other Health Care Providers Regarding Artificial Nutrition and Hydration at the End of Life. Journal of Aging and Health. https://doi.org/10.1177/0898264318762850
McClave, S. A., Taylor, B. E., Martindale, R. G., Warren, M. M., Johnson, D. R., Braunschweig, C., … Compher, C. (2016). Guidelines for the Provision and Assessment of Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, 40(2), 159–211. https://doi.org/10.1177/0148607115621863
Ribera-Casado, J. M. (2015). Feeding and hydration in terminal stage patients. European Geriatric Medicine, 6(1), 87–90. https://doi.org/10.1177/0884533614546890

Rabu, 02 Mei 2018

Pengkajian Nyeri Pasien ICU

PENERAPAN PAIN ASSESMENT TOOLS DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT 

BAB I
LATAR BELAKANG

Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama proses penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri) nyeri memiliki konstruk multidimensional yaitu hubungan antara penyakit sebagai pengalaman biologis dan rasa sakit sebagai pengalaman ketidaknyamanan sehingga sangat sulit untuk menguraikannya (Coyne and Paice, n.d.). Nyeri adalah sensasi  yang tidak menyenagkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi  dengan orang lain. Nyeri dapat memenuhi seluruh pikiran seseorang, mengubah kehidupan orang tersebut akan tetapi nyeri adalah konsep yang sulit dikomunikasikan  oleh klien, menurut International Association For The Study Of Pain (IASP) memberikan definisi yang paing banyak dijadikan acuan yaitu berdasarkan faktor yang berkaitan dengan waktu dan kesesuaian dengan penyakit, penyebab nyeri adalah tidak hanya dari penyakit yang mengancam jiwa seperti kangker tetapi juga cidera, oprasi, luka bakar, infeksi dan efek kekerasan (Hochstenbach et al., 2017).
Pasien dewasa yang terpasang ventilator di ruang intensif seringkali menerima perawatan yang menyebabkan rasa nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling sering terjadi pada pasien yang terpasang ventilator dan bersifat individual dengan pengalaman nyeri yang berbeda- beda. Hampir lima juta pasien yang dirawat di ruang intensif, 71% diantaranya mengalami rasa nyeri selama perawatan (Handayani et al., 2017) . Rasa nyeri yang terjadi pada pasien dewasa yang terpasang ventilator disebabkan oleh penyakit patofisiologis, dampak dari terapi dan prosedur yang diberikan pada pasien, prosedur keperawatan yang sering mengakibatkan nyeri diantaranya yaitu, perubahan posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan kateter, penilaian nyeri yang sistematis dan konsisten dibutuhkan pada pasien kritis yang terpasang ventilator akan tetapi, sebagian besar pasien yang terpasang ventilator tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya secara verbal sehingga diperlukan penilaian nyeri yang terstandar (Westbom et al., 2017)
Menurut (Yudiyanta and Novitasari, 2015) nyeri secara umum dibedakan menjadi dua yaitu nyeri neuropatik dan nosiseptik. Nyeri neuropatik adalah nyeri di bagian distal dari lesi atau disfungsi saraf, sensasi tidak selalu sesuai dengan stimulus, rasa panas, berdenyut, ngilu, kronis, persisten setelah cedera menyembuh, tidak memiliki fungsi protektif sementara nyeri nosiseptik adalah nyeri terlokalisasi pada tempat cedera, sensasi sesuai stimulus,  akut mempunyai batas waktu, memiliki fungsi protektif oleh karenanya manfaat Assessment nyeri salah satunya adalah untuk membedakan jenis nyeri, menentukan skala nyeri, serta konsentrasi nyeri terlokalisasi atau tidak.
Manajemen yang tepat dari nyeri tergantung pada pengkajian nyeri yang sistematis dan  akurat, nyeri seharusnya dikaji secara rutin dan terstruktur, tetapi hal ini seringkali tidak dilakukan alat ukur pengkajian nyeri yang valid  dan direkomendasikan telah tersedia, namun banyak perawat yang tidak menggunakannya banyak pasien di ICU yang karena kondisi penyakitnya, menyebabkan pasien tidak sadarkan diri atau menggunakan alat bantu napas ventilator, sehingga mereka tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi perawat ICU, kerena  beratnya  intensitas nyeri pasien sering diremehkan (Yudiyanta and Novitasari, 2015), Hal ini disebabkan karena terdapat kelompok pasien ICU yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif, sedangkan metoda self- report masih merupakan ‘standar emas’ dalam pengkajian nyeri sesuai dengan pedoman dari International Association for The Study of Pain. Di area keperawatan kritis banyak pasien dengan sedasi dan intubasi yang tidak mampu berkomunikasi  untuk menunjukkan  tingkat rasa nyeri mereka, baik secara lisan atau dengan menunjukkan tingkat rasa nyeri mereka dengan menggunakan alat bantu skala nyeri, hal ini  membuat pegkajian nyeri sulit dilakukan dalam kelompok pasien ini, Hal ini yang menyebabkan pengkajian nyeri di area keperawatan kritis merupakan hal yang sangat kompleks (Dequeker et al., 2018)
Kompleksnya pengkajian nyeri di area keperawatan kritis memerlukan pengkajian nyeri yang  komprehensif sebagai evaluasi yang objektif melalui pengamatan pada  indikator rasa nyeri. Namun, tidak ada alat  yang sempurna untuk mengevaluasi rasa nyeri. Penggunaan skala nyeri berdasarkan indikator perilaku direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa mengkomunikasikan rasa nyerinya,dengan mengamati fungsi motorisnya (Barr et al., 2013). Berbagai alat ukur nyeri telah tersedia, tetapi belum secara pasti keandalannya untuk  diterapkan dalam beragam populasi pasien ICU. Tahka et al (2009) mengidentifikasi lima alat ukur pengkajian nyeri untuk digunakan  pada pasien kritis  yang tidak mampu  memverbalisasikan intensitas nyerinya,yaitu Behavioral Pain Scales (BPS), Critical Care Pain Observation Tool (CPOT), Non Verbal Adult Pain Assessment Scale (NVPS), Pain Assessment and Intervention Notation Algorithm (PAIN), dan Pain Assessment Algorithm. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Priambodo et al., 2016) terkait kelima skala ukur nyeri tersebut disimpulkan bahwa alat ukur BPS, NVPS dan CPOT memiliki nilai terbaik dalam quality assessment alat ukur BPS dan CPOT dinilai memiliki banyak kesamaan, yaitu alat ukur dengan satu dimensi dan telah banyak diuji diera tatanan keperawatan kritis.
Berdasarkan uraian diatas penulis akan menjelaskan tentang pengaplikasian alat ukur nyeri Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) pada pasien kritis yang dirawat di Ruang INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RS PKU Muhammadiyah Gampingdengan cara melakukan pengamatan atau observasi langsung pada pasien dan wawancara pada perawat yang merawat pasien yang diamati sebelum dan sesudah dilakukannya tindakan infasif.

BAB II
TINJAUAN LITERATUR

A. Konsep dasar Nyeri
1. Definisi
International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai suatupengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri (Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012).
Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subjektif dan multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis adalah akut dan memiliki banyak sebab, seperti dari proses penyakitnya, monitoring dan terapi (perangkat ventilasi, intubasi endotrakheal), perawatan rutin (suction, perawatan luka, mobilisasi), immobilitas berkepanjangan dan trauma. Nyeri dilaporkan nyeri sedang-berat. Nyeri yang berkepanjangan dpt mengurangi mobilitas pasien shg bisa menimbulkan emboli paru dan pneumonia.
2. Komponen nyeri
a. Komponen sensori
Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan kualitas nyeri
b. Komponen afektif
Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak menyenangkan, kecemasan, ketakutan yang dihubungkan dengan pengalaman nyeri.
c. Komponen kognitif
Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan pengalamannya.
d. Komponen tingkah laku
Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk mengekspresikan, menghindari atau mengontrol nyeri.
e. Komponen fisiologis
Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K, 2010)

3. Jenis-jenis nyeri yang sering dijumpai di bagian gawat darurat
a. Nyeri akut
1) Karakteristik : serangan datang mendadak, terjadi akibat kerusakan jaringan, durasinya singkat kurang dari 6 bulan, bisa diidentifikasi area nyerinya, tanda dan gejala objektifnya spesifik seperti takikardi, hipertensi, diaforesis, midriasis dan pucat, serta timbul kecemasan

2) Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur, fraktur, infeksi, pankreatitis
b. Nyeri kronis
1) Karakteristik : nyeri yang menetap selama lebih dari 6 bulan, disertai awitan yang temporer yang batasnya tidak jelas.
2) Penyebab : artritis, migrain, nyeri pelvis, low back pain
c. Nyeri kanker
1) Karakteristik : nyeri kanker dapat akut, kronik, intermiten atau campuran juga bisa berupa kombinasi dari berbagai nyeri.
2) Penyebab : Tumor, HIV/AIDS, kemoterapi, terapi radiasi
d. Nyeri neuropathic
1) Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk seperti sensasi kejut, atau seperti dijepit. Nyeri ini dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu nyeri deaferentasi akibat kerusakan, nyeri yang melewati jaras simpatis akibat trauma, nyeri neuropatik perifer pada cedera saraf.
2) Penyebab : lesi primer, disfungsi sistem saraf pusat dan saraf perifer
e. Nyeri Viseral
1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, sulit dilokalisasi, dalam atau meremas-remas dan biasanya mengacu pada sisi kutaneus. Nyeri visera akut dapat disertai gejala otonom seperti mual muntah.
2) Penyebab : iskemia, oklusi vena, obstruksi usus
f. Nyeri Somatik
1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, terlokalisasi, berdenyut, perih atau tajam.
2) Penyebab : metastase kanker tulang (Kemp C, 2010)

4. Fisiologi nyeri
a. Rasa Nyeri
Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari. Secara klinis nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensitisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tractus spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.
b. Perjalanan Nyeri
Terdapat empat (4) proses yang terjadi pada perjalanan nyeri  yaitu :
1) Transduksi
Transduksimerupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatuaktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas yang merusak jaringan. Pada perawatan kritis banyak rangsangan rasa nyeri termasuk kondisi penyakit pasien, terpasang berbagai alat teknologi yang canggih seperti ventilator, dan banyak tindakan lain yang harus dijalani oleh pasien. Rangsangan tersebut akan merangsang pelepasan banyak zat-zat kimia seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, glutamate dan zat P.
2) Transmisi
Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh prosestransduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul - molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya. Secara umum ada 2 cara bagaimana sensasi nosiceptive dapat mencapai sistem saraf pusat yaitu melalui traktus neospinotalamikus untuk nyeri cepat yang melalui serat A-delta dan traktus paleospinotalamikus untuk nyeri lambat yang melalui serat C. Serabut A-delta mentransmisikan nyeri tajam dan tusukan, sedangkan serat C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu dan tekanan halus.

3) Modulasi
Modulasiadalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapatterjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
4) Persepsi
Persepsiadalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai kortekssehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. (Urden L, Stacy K, 2010)
c. Respon sStres Fisiologis
Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri. Respon stres ini melibatkan sistem saraf, endokrin dan kekebalan tubuh dalam hipotalamo-pituitary-adrenal axis. Pada kondisi nyeri hipotalamus akan melepaskan mediator kortikotropin (CRF) yang mengaktifkan sistem saraf simpatis kemudian norepineprin dikeluarkan dari terminal saraf simpatis dan epineprin dikeluarkan dari saluran luar adrenal. Dampak dari hormon stres ini menyebabkan pengamatan terhadap respon fisiologis yang terkait dengan aktivasi sistem saraf simpatis, yaitu sebagai berikut :
1) Meningkatnya denyut jantung
2) Meningkatnya tekanan darah
3) Meningkatnya frekuensi napas
4) Dilatasi pupil
5) Mual dan muntah
6) Pucat
Setelah respon stres diatas, CRF dikeluarkan dari hipotalamus dan merangsang kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan hormon ACTH sedangkan kelenjar hipofise posterior melepaskan hormon vasopresin dan ADH. ACTH mengaktifkan sal luar adrenal utk melepaskn hormon aldosteron dan kortisol. Vasopresin dan aldosteron meningkatkan penyimpanan sodium dan air sehingga volume intravaskuler meningkat, diuresis menurun sehingga tekanan darah menjadi meningkat. Kortisol mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan 2 cara : immunosupresi dan pelepasan sitokin
5. Etiologi dan faktor resiko
a. Kondisi akut
1) Pembedahan (insisi, adanya drain, tube, perangkat keras ortopedi )
2) Trauma (fraktur, laserasi)
3) Kondisi medis (pankreatitis, kolitis ulseratif, migrain)
4) Kondisi psikologis (kecemasan) yang dapat meningkatkan persepsi nyeri, memperpanjang rasa nyeri dan menurunkan ambang nyeri.
b. Prosedur (suction, paracentesis, pemasangan atau pencabutan kateter)
c. Immobilitas
d. Kondisi nyeri kronis, seperti kondisi muskuloskeletal (artritis, low back pain, fibromialgia) dan kondisi lainnya (kanker, stroke, neuropati diabetikum)
(Alspach J, 2006)
6. Tanda dan gejala
Respon manusia terhadap rasa nyeri bisa terjadi dari keduanya baik fisik dan emosional. respon fisiologis terhadap nyeri adalah hasil dari aktivasi hipotalamus dari sistem saraf simpatik yang berhubungan dengan respon stres. aktivasi simpatik menyebabkan:
a. Perpindahan darah dari pembuluh darah yang dangkal ke otot, jantung, paru-paru dan sistem saraf
b. Dilatasi bronkhial untuk meningkatkan oksigenasi
c. Meningkatkan kontraktilitas jantung
d. Menghambat sekresi dan kontraksi lambung
e. Meningkatkan sirkulasi gula darah untuk energi
Tanda dan gejala aktivasi simpatik sering menyertai nosisepsi dan nyeri:
a. Meningkatnya denyut jantung
b. Meningkatnya tekanan darah
c. Meningkatnya frekuensi napas
d. Dilatasi pupil
e. Mual dan muntah
f. Pucat
Pada pasien sakit kritis ekspresi nyeri bisa secara verbal maupun non verbal sebagai berikut:
Isyarat Verbal Isyarat Wajah Gerakan tubuh

Mengerang Meringis Splinting

Menangis Mengernyit Menggosok

Menjerit Sinyal mata Mengayun

Diam gerakan rhytmic ekstremitas.
gemetar atau menekan rel tempat tidur.
meraih lengan perawat


B. Pengkajian nyeri
Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin mengkaji nyeri dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk nyeri yang tidak reda pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian nyeri sama pentingnya dengan metode terapi. Nyeri pasien harus dikaji pada interval teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek samping, kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis tambahan guna mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang pada interval yang tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi lainnya, seperti 30 menit setelah dosis morfin IV.
Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini meliputi :
1. Penurunan kesadaran
2. Terpasang ventilator
3. Intubasi endotrakheal
4. Pengaruh obat sedasi
5. Kaum lansia dan anak-anak
6. Pengaruh Budaya
7. Kurangnya pengetahuan
Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan kesehatan adalah bahwa mereka yang paling berkualifikasi untuk menentukan adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya tanda fisik atau perilaku seringkali salah diinterpretasikan sebagai tidak ada nyeri. Agar dapat melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat perawatan kritis harus mendapatkan laporan diri pasien. Pengamatan perilaku dan perubahan parameter fisik harus dipertimbangkan dengan laporan diri pasien.
1. Laporan diri pasien
Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri pasien adalah sumber informasi yang paling andal mengenal adanya nyeri dan intensitasnya. Laporan diri pasien harus diperoleh tidak hanya pada saat intirahat, namun selama aktifitas rutin, seperti pada saat batuk, napas dalam dan miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi perawat perawatan kritis harus menerima gambaran nyeri pasien sebagai sesuatu yang valid. Dalam mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan gambaran verbal spesifik mengenai nyeri pasien misalnya seperti “terbakar”, “remuk”, “tertusuk”, “tumpul” atau “tajam” dengan teknik P Q R S T U, yaitu :
P : Provokatif/Paliatif
Q : Quality
R : Region/Radiation
S : Severity
T : Timing
U : Understanding/Pemahaman tentang nyeri
2. Observasi
Pasien yang mengalami nyeri dapat memperlihatkan manifestasi perilaku khusus. Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan menghindari gerakan akan melindungi pasien dari stimulus yang menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh pasien untuk meredakan nyeri seperti menggosok daerah nyeri, mengganti posisi atau meminta obat pereda nyeri adalah perilaku paliatif. Menangis, merengek atau menjerit adalah perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional terhadap nyeri.
Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi wajah atau mata, gerakan tangan atau tungkai untuk menyatakan nyerinya. Kegelisahan atau agitasi dapat terlihat pada pasien yang tidak dapat memberikan respon. Masukan dari keluarga dapat membantu menginterpretasikan manifestasi perilaku nyeri yang spesifik berdasarkan pengetahuan mereka terhadap perilaku nyeri pasien sebelum dirawat di rumahsakit.
3. Parameter Fisiologis
Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik pasien yang meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi jantung atau pernapasan. Oleh karena itu masuk akal apabila observasi terhadap efek fisiologis nyeri akan membantu pengkajian nyeri. Akan tetapi, pada pasien yang sakit kritis, mungkin sulit menghubungkan perubahan fisiologis ini secara khusus dengan nyeri bukan penyebab lainnya.
Kadangkala terdapat perbedaan antara laporan diri pasien dengan manifestasi perilaku dan fisiologis. Sebagai contoh, satu orang pasien dapat melaporkan nyeri bernilai 2 dari 10, sementara ia mengalami takikardi, diaforesis, dan splinting pernapasan. Pasien yang lain dapat memberikan laporan diri 8 dari 10 sambil tersenyum. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penggunaan aktivitas pengalihan, keterampilan koping, kepercayaan mengenai nyeri, latar belakang budaya, ketakutan akan kecanduan, atau takut menyusahkan staf keperawatan (Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)

C. Pengukuran intensitas nyeri
Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi, sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi terhadap nyeri.
Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras.
Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan  ketidakmampuan  verbal  baik  karena  terganggu  kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.
1. Skala nyeri verbal (Self Reported)
Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang hebat.
a. Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkatnyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
0 : Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
1 : Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 : Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 : Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah
  merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan
b. Visual Analogue Scale
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan VisualAnalog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.





c. Wong Baker Faces Pain Scale
Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.







2. Skala Nyeri Non Verbal
Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator. Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika self-report tidak bisa dilakukan.
a. Skala FLACC
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10














b. Behavioral Pain Scale
Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal).
Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain).
I Description Score
t
Facial expression Relaxed 1
Partially tightened 2
Fully tightened 3
Grimacing 4
Upper Limbs No movement 1
Partially bent 2
Fully bent with finger flexion 3
Permanently retracted 4
Compliance with Tolerating movement 1
ventilation Coughing but tolerating ventilation 2

for  most  of the time
Fighting ventilator 3
Unable to control ventilation 4
Total 3 to 12

(Sumber : Urden L, Stacy K, 2010)

c. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)
CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency ofHealth Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikandengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat
SKOR TINGKAH LAKU
0 Rileks, tidak ada ekspresi wajah
1 Mengeluh, mengerutkan dahi, gelisah/tidak tenang
2 Wajah meringis, memproteksi posisi tubuh
3 Menangis, Resistif
4 Menjerit, melempar sesuatu
5 Melawan

d. Four score

Petunjuk kategori pengkajian individu dengan menggunakan 4 skor, yaitu:
1) Respon mata, tingkat respon terbaik setidaknya setelah 3 percobaan dalam upaya untuk memperoleh tingkat kesadaran terbaik.
a) E4 : Jika mata tertutup, pemeriksa harus membukanya dan memeriksa dengan penelusuran jari atau benda. 1 kelopak mata membuka akan cukup dalam kasus kelopak mata edema trauma wajah. jika tidak ada penelusuran horizontal, penelusuran vertikal periksa. berkedip apabila di perintah harus didokumentasikan. Hal ini berarti pasien sadar sepenuhnya.
b) E3 : Menunjukkan kelopak mata terbuka tapi tidak tidak ada tracking
c) E2 : Menunjukkan kelopak mata terbuka dengan suara yang keras
d) E1 : Menunjukkan kelopak mata terbuka dengan rangsangan nyeri
e) E0 : Menunjukkan kelopak mata tidak terbuka walaupun dengan rangsangan nyeri
2) Respon motorik, tingkatan respon terbaik dari lengan
a) M4 : Menunjukkan bahwa pasien menunjukkan setidaknya 1 dari 3 posisi tangan (acungan jempol, kepalan tangan atau peace sign) dengan kedua tangan
b) M3 : Menunjukkan bahwa pasien menyentuh tangan pemeriksa setelah diberikan rangsangan nyeri dengan menekan sendi temporomandibular atau saraf supraorbital (dapat melokalisasi nyeri)
c) M2 : Menunjukkan respon fleksi tungkai atas terhadap nyeri
d) M1 : Tmenunjukkan ekstensi tungkai
e) M0 : Tidak ada respon terhadap nyeri atau mioklonus status epileptikus
3) Refleks Brainstem, tingkat respon terbaik. Dengan memeriksa refleks pupil dan kornea. Refleks kornea di tes dengan meneteskan 2-3 tetes cairan steril pada kornea dengan jarak 4-6 inchi, cotton swab bisa dipergunakan. Refleks batuk pada pengisapan trakhea di tes hanya ketika refleks pupil dan kornea tidak ada.
a) B4: menunjukkan refleks pupil dan kornea ada, baik
b) B3: menunjukkan salah satu pupil lebar dan tetap
c) B2: menunjukkan salah satu refleks tidak ada, refleks pupil atau kornea
d) B1:refleks pupil dan refleks kornea tidak ada
e) B0 : refleks pupil, refleks kornea dan refleks batuk (yang menggunakan pengisapan trakhea) tidak ada


4) Respirasi, memastikan pola pernapasan spontan pada pasien tidak terintubasi.
a) R4: Tidak terintubasi, pola napas reguler
b) R3: Tidak terintubasi, pola napas cheyne-stokes
c) R2: Tidak terintubasi, pola napas irreguler
d) R1 : bernafas dengan menggunakan ventilator, namun PaCO2 masih dalam batas normal
e) R0 : bernafas dengan menggunakan ventilator atau apneua
e. Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)
Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU adalah Critical-Care PainObservation Tool (CPOT), yang telah terbukti dapat diandalkan dan valid dalamberbagai populasi pasien sakit kritis. Alat ini memerlukan evaluasi dari 4 kategori berikut :


Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi wajah Rileks, netral 0 Tidak terlihat  adanya ketegangan
otot
Tegang 1 Merengut, menurunkan alis
Meringis 2 semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup
rapat  (pasien  bisa  juga  dengan
mulut terbuka atau menggigit
tabung endotrakeal)
Gerakan tubuh Adanya gerakan 0 tidak  bergerak  sama  sekali  (tidak
atau posisi selalu  berarti  tidak  adanya  rasa
normal sakit) atau posisi normal (gerakan
tidak ditujukan terhadap adanya
lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk
tujuan perlindungan)
Gerakan 1 lambat, gerakan hati-hati,
perlindungan menyentuh  lokasi nyeri, mencari
perhatian melalui gerakan
Gelisah 2 menarik tabung,  mencoba untuk
duduk, bergerak badan atau
meronta-ronta,   tidak   mengikuti
perintah, mencoba untuk bangun
dari tempat tidur
Kepatuhan Toleran  terhadap 0 Alarm tidak aktif, ventilasi mudah
Dengan ventilator dan
Ventilator gerakan
(pasien Batuk tapi masih 1 Batuk,  alarm  mungkin  aktif  tapi
diintubasi) toleran berhenti secara spontan
Melawan 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi,
ventilator alarm aktif secara terus menerus
Vokalisasi Berbicara dengan 0 Berbicara dengan nada normal atau
(pasien nada normal atau tidak ada suara
diekstubasi). tidak ada suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengerang
Menangis 2 Menangis terisak-isak
terisak-isak
Ketegangan otot Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan
pasif
Tegang 1 Resistan terhadap gerakan pasif
Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan
pasif

Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon pasien. Total skor maksimum adalah 8. Penilaian nyeri yang tepat merupakan bagian penting dari perawatan berkualitas bagi pasien sakit kritis, dan penggunaan ukuran nyeri yang valid dapat membantu dalam evaluasi teknik manajemen nyeri multidisiplin untuk pasien sakit kritis nonverbal (Gelinas C dkk, 2006).
Keterbatasan dari banyak alat penilaian perilaku nyeri (seperti CPOT) adalah perlunya perhatian khusus pada setiap gerakan, sehingga penting bagi perawat untuk hati-hati mengevaluasi setiap kemampuan pasien untuk menunjukkan perilaku yang diperlukan dalam penilaian.

BAB III
PEMBAHASAN
a. Hasil pengkajian
Untuk mengetahui efektifitas dari Critical-care Pain Observation Tools, maka penulis mencoba untuk melakukan pengkajian nyeri pada pasien critical-care  yang dirawat di Instalation Care Unit PKU Muhammadiyah Gamping. Pasien Tn X berusia 50 tahun di rawat dengan diagnosa medis Acute Lung Oedema, Diabetes dan Gagal Ginjal. Kondisi pasien saat pengkajian terlihat lemah dan sedang menjalani hemodialisa. Dari pengkajian nyeri yang dilakukan, didapatkan hasil :
Indikator Hasil Pengkajian / Skor
Ekspresi Wajah Dahi mengerut, mata kadang terbuka,dan menutup /1
Gerakan Tubuh Eksterimitas atas sebelah kanan pasien terfiksasi karena pasien sering gelisah dan mencoba untuk meraih nasal kanul yang digunakan pasien / 2
Vokalisasi Pasien terdengar merintih / 1
Ketegangan otot Saat dilakukan pemeriksaan GDS atau perubahan posisi terlihat gerakan fleksi dari ekstremitas pasien namun masih dapat diatasi oleh perawat / 1
Total 5
Berdasarkan hasil pengkajian, maka pasien Tn X di simpulkan mengalami nyeri dan perlu dipertimbangkan untuk pemberian analgesik atau sedasi.

b. Pembahasan
Nyeri kronis adalah permasalahan paling penting dan sering dialami oleh pasien Critically ill yang menjalani ongoing perawatan farmakologi lanjutan. Intensive Care Unit (ICU) merupakan salah satu bangsal yang beresiko untuk mengalami gejala stress kerja yang berkaitan dengan nyeri kronis pasien akibat dari kondisi medis dan prosedur perawatan yang didapatkan oleh pasien tersebut. Prosedur perawatan seperti memiringkan pasien, pelepasan drain dan endotracheal suction terindentifikasi sebagai prosedur yang mampu menyebabkan rasa nyeri sedang sampai dengan hebat pada 50% pasien ICU (Chanques, 2017). Namun, seringkali permasalahan nyeri kronis yang di alami pasien ini tidak terselesaikan atau diperhatikan dengan baik oleh perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Bagi pasien yang masih mampu melakukan komunikasi efektif, pengkajian nyeri dapat dilakukan dengan didasarkan dari kemampuan pasien melaporkan nyeri yang dirasakan. Namundi ICU sendiri banyak pasien yang dirawat dengan kondisi terpasang ventilasi mekanis, tingkat kesadaran yang rendah, serta kemampuan kognitif yang terganggu. Hal ini menyebabkan pengkajian nyeri yang di lakukan untuk pasien ICU dan di bangsal lain tidak dapat disamakan. The Critical-Care Patient Observation Tool (CPOT) adalah pengkajian nyeri yang di kembangkan untuk pasien yang tidak mampu berkomunikasi langsung dan direkomendasikan sebagai pengkajian nyeri utama diantara 2 format pengkajian terbaik oleh Society of Critical Care Medicine (Barr, 2013).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai validitas dari CPOT untuk pengkajian nyeri dengan kondisi pasien yang beragam. Hasil penelitian dari Boitor, Fiola, Gelinas (2016) menunjukan bahwa CPOT memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi untuk menilai nyeri pada pasien di ICU (p <.001). Selain itu, CPOT juga telah diuji sensitivitas dan spesifisitasnya dengan gold standard pelaporan nyeri secara verbal oleh pasien yang telah diekstubasi dengan hasil nilai sensitivitas 86% dan nilai spesifisitas 78% (Gelinas et al, 2009). Akan tetapi, CPOT tidak digunakan untuk menilai tingkat nyeri, namun untuk mendeteksi adanya nyeri pada pasien kritis dewasa dengan ventilator. Metode validasi untuk menilai tingkat nyeri pada pasien tidak berhasil (Pasero, 2005).
Dari hasil fieldtrip yang lakukan, penulis menemukan beberapa hal penting terkait pengunaan CPOT sebagai instrumen pengkajian nyeri. Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh CPOT adalah memiliki definisi operasional yang di miliki CPOT lebih jelas dan mudah dipahami serta adanya domain observasi nyeri untuk pasien dengan extubasi. Namun saat di lapangan penulis juga merasa kesulitan saat mengkaji domain ekspresi wajah karena adanya perbedaan pendapat antara tim penulis dalam meberikan skor pada pasien. Untuk itu penulis menyarankan, sebelum menggunakan CPOT sebagai instrumen, perlu dilakukan sosialisasi dan persamaan persepsi dahulu mengenai tiap domain yang ada di CPOT. Hal ini di dukung oleh pernyataan dari Boitor, Fiola, Gelinas (2016) bahwa untuk memastikan CPOT dapat digunakan di rumah sakit maka perlu dilakukan short traing terstandar mengenai cara-cara penggunaan CPOT.


c. Islamic Revealed Knowledge
Dalammenghadapipenderitaan, Muslim dinasihatiuntuksetiadansabar: '' Ketika orang percayamenerimaapapun yang baik, iabersyukurkepada Allah danmendapathadiah. Dan ketikabeberapakemalanganmenimpadia, diabertahandengansabar, yang ia (juga) dihargai. Muslim percaya Allah telahmenciptakanobatuntuksetiappenyakit, danumatmanusia, melaluiilmupengetahuan, harusmencari orang-orang cerdas: '' Tidakadapenyakit yang Allah telahmenciptakan, kecualibahwaDiajugatelahmenciptakanobatnya '' (HR Bukhari 7,582)
Karena '' DNR '' adalahmasalah yang diperkenalkanolehkedokteran modern, itutidakdibahasbaikdalam Quran, Sunnah, atauHadis. Namun, ulama Islam telahmengeluarkan fatwa mengenaihalitu: '' jikatigadokterberpengetahuandandapatdipercayasetujubahwakondisipasienadalahharapan, mesinpendukungkehidupandapatditahanatauditarik.'' Ada perdebatantentanghalini, namunsebagianbesar Muslim menganggapstatusnya DNR dapatditerima(Leong et al., 2016)
Terdapat dalam beberapa Surat dalam Al-qur’an dan tafsir yang mengarah kedalam perawatan paliatif care yaitu:
Surat AL-A’raf Ayat 34

Artinya; Tiap-tiap mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Adapun tafsir yang memperjelas Surat Al-A’raf Ayat 34 yaitu;
Tafsir Jalalayn; (Tiap-tiap umat mempunyai ajal) yakni masa tertentu (maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya) ajal itu (barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya) memajukan temponya.
Tafsir Quraish Shihab; Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu akhir yang telah ditentukan. Tidak ada satu kekuatan apa pun mampu memajukan dan mengundurkannya walau sesaat.



BAB III
PENUTUP

The Critical-care Pain Tools mampu mengidentifikasi nyeri pada pasien yang berada dalam kondisi kritis dan menjalani prosedur perawatan yang kompleks. Untuk lebih meningkatkan reliabilitas dari CPOT maka perlu dilakukan pelatihan yang komprehensif tentang penggunaan instrumen pengkajian nyeri serta dilakukan evaluasi secara berkala untuk melihat konsistensi dari penggunaan CPOT di bangsal atau rumah sakit. Penggunaan instrumen pengkajian nyeri khusus untuk pasien kritis harus lebih di perhatikan agar mampu mendeteksi nyeri yang dirasakan pasien dan memutus rantai perjalanan nyeri kronis.


DAFTAR PUSTAKA

Alspach, J. (2017). Core Curriculum for Critical Care Nursing. America, American Association of Critical Care Nursing.
Boitor, M., Fiola, J. L., Gelinas, C. Validation of the Critical-Care Pain Observation Tool and Vital Signs in Relation to the Sensory and Affective Components of Pain During Mediatinal Tube Removal in Postoperative Cardiac Surgery Intensive Care Unit Adults. Journal of Cardiovascular Nursing. 2016.
Barr JMDF, Fraser GLPF, Puntillo KRNPFF, et al. Clinical practice guidelines for the management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care unit. CritCare Med. 2013;41(1):263Y306.
Chanques G, Sebbane M, Barbotte E, Viel E, EledjamJJ,Jaber S. A prospective study of pain at rest: incidence andcharacteristics of an unrecognized symptom in surgical andtraumversus medical intensive care unit patients. Anesthesiology.2017;107(5):858Y860.
Coyne, P., Paice, A.J.A., n.d. Position Statement Pain Management at the End of Life.
Dequeker, S., Van Lancker, A., Van Hecke, A., 2018. Hospitalized patients’ vs. nurses’ assessments of pain intensity and barriers to pain management. J. Adv. Nurs. 74, 160–171. https://doi.org/10.1111/jan.13395
Handayani, S.U.S., Ariani, N.L., Maemunah, N., 2017. HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN MOTIVASI PERAWAT DENGAN PELAKSANAAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO) ASSESMENT NYERI ULANG DI RUANG RAWAT INAP DEWASA RUMAH SAKIT PANTI WALUYA SAWAHAN MALANG. Nurs. News J. Ilm. Mhs. Keperawatan 2
Hochstenbach, L.M.J., Courtens, A.M., Zwakhalen, S.M.G., Vermeulen, J., van Kleef, M., de Witte, L.P., 2017. Co-creative development of an eHealth nursing intervention: Self-management support for outpatients with cancer pain. Appl. Nurs. Res. 36, 1–8. https://doi.org/10.1016/j.apnr.2017.03.004
Kemp, C. (2010). Penatalaksanaan Pasien Sakit Terminal. EGC, Jakarta.
Morton, P. G., D. Fontaine, et al. (2012). KeperawatanKritisPendekatanAsuhanHolistik. Jakarta, EGC.
Priambodo, A.P., Ibrahim, K., Nursiswati, N., 2016. PengkajianNyeripadaPasienKritisdenganMenggunakan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit (ICU). J. KeperawatanPadjadjaran 4.
Pasero, C., Puntillo, K., & Li D. Structured approaches to pain management in the ICU. Chest, 2005;135:1665–72.
Urden, L. and Stacy K. (2010). Critical Care Nursing Diagnosis ang Management. Canada, Mosby Elsevier.
Westbom, L., Rimstedt, A., Nordmark, E., 2017. Assessments of pain in children and adolescents with cerebral palsy: a retrospective population-based registry study. Dev. Med. Child Neurol. 59, 858–863. https://doi.org/10.1111/dmcn.1345
Yudiyanta, N.K., Novitasari, R.W., 2015. Assessment nyeri. J. CDK 226.


Rabu, 14 Maret 2018

APLIKASI TEORI KEPERAWATAN LEVINE’S CONSERVATION




APLIKASI TEORI KEPERAWATAN LEVINE’S CONSERVATION



A.  Pendahuluan

Teori keperawatan merupakan suatu panduan perawat dalam setiap tindakan dan kemampuan berpikir sistematis tentang praktik keperawatan, sehingga pemberian asuhan keperawatan dengan menggunakan teori keperawatan diharapkan dapat mempermudah perawat dalam mendukung kesembuhan pasien. Teori keperawatan Levine’s conservation model merupakan salah satu model keperawatan yang bertujuan untuk memberikan pedoman dalam memberikan intervensi keperawatan yang dapat mempengaruhi respon seseorang dan meningkatkan kondisi kesejahteraannya (Kurniawan, Kristianto, & Suharsono, 2015). Ketika individu tidak mampu beradaptasi terhadap stimulasi yang merugikan, maka perawat bertindak sebagai konservator sehingga tercapai keseimbangan dan keutuhan yang diharapkan (Mariyam, Rustina, & Waluyanti, 2013). Model keperawatan Levine’s conservation mengambarkan cara sistem yang kompleks yang dapat terus berfungsi bahkan ketika mendapat tantangan, melalui konservasi ini individu mampu melakukan adaptasi dan tetap mempertahankan keunikan pribadi (Diana & Biyanti, 2015).

Teori konservasi menjelaskan bahwa adaptasi mengarah pada keutuhan individu yang terdiri dari konservasi energi, integritas struktur, intregritas personal dan integritas sosial. Adaptasi adalah cara mempertahankan integritas didalam lingkungan hidup, yang mana ditandai dengan redundansi, historisitas dan spesifisitas (Abumaria, Hastings-Tolsma, & Sakraida, 2015). Terdapat tiga tingkat yang dapat menjadi panduan perawat dalam promosi adaptasi, tingkat pertama dengan mempertahankan homeositasis lingkungan dengan penyesuaian dalam fisiologi tubuh bersama factor lingkungan sekitar (makan, pakaian hangat), tingkat kedua berfokus bagaimana orang merespon ketika sadar diri dari penyakit yang dialami, tingkat ketiga tercapai ketika pasien mencari perawatan kesehatan.



B.  Konsep Levine’s Conservation Model

Sebagai kerangka kerja praktek keperawatan Levine’s conservation model mempunyai tujuan untuk mendorong proses adaptasi dalam mempertahankan keutuhan (Wholeness) individu dengan mengunakan prinsip konservasi. Berdasarkan hal tersebut Levine’s conservation model dapat dijelaskan mempunyai 3 komponen utama (Alligood, 2014), yaitu:



1.    Wholeness (Holism)

Sebuah sistem terbuka yang menekankan pada suara organic, progresif dan hubungan saling mempengaruhi antara fungsi yang  bervariasi. Suatu interaksi terbuka, dinamis dan berkelanjutan antara lingkungan internal dan eksternal memberikan dasar pemikiran holistic, yaitu cara memandang individu secara menyeluruh (Whole). Respon organisme merupakan perilaku individu dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan, terdapat 4 jenis respon organisme, yaitu:

a)    Respon terhadap rasa takut

Sebuah respon yang dirasakan seketika pada suatu hal yang nyata atau dibayangkan, respon ini merupakan respon yang paling primitif dirasakan oleh individu.

b)   Respon inflamasi

Merupakan respon dalam memberikan integritas structural dan stimulasi penyembuhan, keduanya merupakan respon pertahanan diri terhadap stimulasi yang merugikan dan inisiasi penyembuhan.

c)    Respon stress

Respon yang berkembang dari waktu ke waktu dan dipengaruhi pengalaman stress yang dihadapi oleh seseorang. Bila kondisi terjadi berkelanjutan akan menyebabkan kerusakan sistem.

d)   Respon perseptual

Merupakan respon terakhir yang meliputi individu mengumpulkan informasi dari lingkungan dan mengubahnya ke pengalaman yang bermakna.

2.    Adaptasi

Proses individu mempertahankan integritas dalam menghadapi realitas lingkungan internal dan eksternal, sedangkan konservasi adalah hasil dari proses adaptasi. Levine’s conservation model terdapat 3 karakteristik, yaitu:

a)    Historisitas

Respon adaptif sebagian manusia yang didasarkan pada genetic dan sejarah masa lalu. Setiap manusia terdiri dari kombinasai genetic dan sejarah dan respon adaptif merupakan hasil dari keduanya.

b)   Kekhususan

Sistem yang membentuk manuasia ketika memiliki respon terhadap stimulus yang unik, misalnya ketika individu mendapat stimulus yang sama, tetapi setiap individu melakukan adaptasi yang berbeda-beda.

c)    Redundansi

Suatu sistem yang gagal melakukan adaptasi maka sistem lain dapat mengambil alih dan menyelesaikan adaptasi tersebut. Namun redundansi dapat merugikan, misalnya ketika kondisi penyakit autoimun. Hilangnya pilihan redundansi selama kondisi trauma, usia, penyakit atau kondisi lingkungan membuat individu sulit mempertahankan hidup. Levine menduga adanya kemungkingan bahwa penuaan merupakan konsekuensi gagalnya redundansi proses fisiologis dan psikologis (Nugroho, 2016).

3.    Konsep Konservasi

Merupakan sistem yang kompleks untuk melanjutkan fungsi bahkan ketika terjadi hambatan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan dan kekuatan dalam menghadapi ketidakmampuan. Fokus utama dengan menjaga seluruh aspek dari manusia/individu dengan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan energy dalam realitas biologis. Terdapat 4 prinsip konservasi, yaitu:

a)    Konservasi energy

Konservasi bertujuan untuk menjaga keseimbangan energi tetap seimbang sehingga tidak terjadi kelelahan yang berlebih, maka intervensi yang diberikan adalah dengan istirahat, olahraga dan pemeliharaan gizi yang cukup.

b)   Konservasi integritas structural

Mempertahankan atau mempertahankan struktur tubuh sehingga tidak menyebabkan gangguan fisik dan meningkatkan proses penyembuhan. Intervensi yang dapat dilakukan adalah membantu klien dalam ROM dan pemeliharaan kebersihan.

c)    Konservasi integritas personal

Bertujuan untuk mengenali individu sebagai manusia yang mendapatkan pengakuan, rasa hormat, kesadaran diri dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Memberikan perlindungan terhadap privasi individu merupakan salah satu intervensi yang dilakukan.

d)   Konservasi ingetegritas social

Seorang individu diakui sebagai anggota keluarga, anggota komunitas atau masyarakat, kelompok keagamaan, kelompok etnis, dan sistem politik suatu bangsa. Makna hidup meningkat sepanjang komunikasi sosial dan kesehatan dipertahankan. Perawat sebagai profesi, berperan dalam membantu anggota keluarga, membantu kebutuhan beribadah, dan menggunakan hubungan interpersonal untuk mempertahankan integritas social.

C.  Proses Keperawatan Levine’s Conservation Model

1.    Pengkajian

Pengumpulan data dari pengaruh lingkungan internal dan eksternal, mengamati respon, memahami laporan medis, melakukan evaluasi diagnostic dan keluarga tentang kebutuhannya. Melakukan pengkajian fisiologis dan patofisiologis dengan lingkungan internal dan factor ditingkat persepsi, operasional dan konseptual dari lingkungan eksternal, dengan prinsip konservasi yaitu konservasi energy, structural, personal dan social.

2.    Tropikognisis

Melakukan penilaian asuhan keperawatan melalui proses ilmiah untuk melakukan pengamatan dan memilih data yang relevan dalam menyusun pernyataan hipotesis tengang keadaan pasien.

3.    Hipotesis

Mengarahkan intervensi dari asuhan keperawatan dengan tujuan menjaga keutuhan individu dan mempromosikan adaptasi, disini perawat menyususn hipotesis tentang masalah individu dan solusi yang menjadi asuhan keperawatan yang akan diberikan ke individu.

4.    Intervensi

Hipotesis yang diarahkan dilakukan intervensi dengan prinsip-prinsip konservasi Levine’s conservation model dengan harapan menjaga keutuhan individu dan mempromosikan tindakan adaptasi individu.

5.    Evaluasi

Melakukan pengamatan pasien setelah dilakukan intervensi yang dilakukan, hasil dari pengujian hipotesis dievaluasi dari respon individu. Konsekuensi dari perawatan terupetik atau mendukung, tindakan teraupetik dapat meningkatkan kesejahteraan, langkah-langkah memberikan kenyamanan.



D.   KASUS

Sarah Woods*, a 46-year-old woman with type 2 diabetes mellitus, arrives at the endocrinologist’s office for a routine visit. She complains of fatigue, anxiety, and “a racing heart.” She states she has felt particularly stressed since the recent death of her mother who had Alzheimer’s disease. She denies having had any recent illness. 

In additional to diabetes, Ms. Woods’ medical history includes hypercholesterolemia, osteoporosis, and dermatomyositis (an autoimmune disease). Her current medications are:

  • atorvastatin 10 mg daily
  • baby aspirin 81 mg daily
  • hydroxychloroquine sulfate 200 mg daily
  • methotrexate 15 mg subcutaneously weekly
  • metformin 1000 mg twice a day
  • insulin aspart (Novolog) before meals, 1 unit per 15 carbs
  • insulin glargine (Lantus) 11 units at bedtime.

Physical assessment reveals a slightly enlarged thyroid with no tenderness. Ms. Woods’ eyes are noticeably swollen, and her skin is warm and moist. No tremor is observed. Her vital signs are

  • blood pressure 162/58 mm Hg
  • heart rate 120 beats per minute
  • respirations 20 per minute
  • temperature 99.5 F. 

The endocrinologist orders several laboratory tests and schedules Ms. Woods for a 24-hour radioactive iodine uptake test (RAIU) the next day. Results include:

  • random blood glucose: 319 mg/dL
  • glycosylated hemoglobin (A1C): 6.9%
  • thyroid-stimulating hormone (TSH): 0.2 mlU/L
  • triiodothyronine (T3): 276ng/dL
  • Free thyroxine (T4): 3ng/dL
  • RAIU: increased uptake within the thyroid.

Based on Ms. Woods’ signs and symptoms and the results of diagnostic tests, the endocrinologist confirms that she has Graves’ disease, a type of hyperthyroidism. Ms. Woods is informed of her diagnosis and is started on methimazole, an antithyroid medication. She is instructed to monitor for signs of infection because she is also on methotrexate; both methotrexate and methimazole can cause agranulocytosis.

Ms. Woods is placed on a cardiac monitor and oxygen, and an I.V. is started. She is given propranolol to lower her heart rate and blood pressure and acetaminophen to decrease her temperature. A loading dose of methimazole 30 mg is also given. Ms. Woods is stabilized and 3 days later she returns home on oral methimazole (10 mg three times/day).,

Ms. Woods returns 2 weeks later to her endocrinologist’s office. She states she feels much better and that she has been able to take her medication. Her vital signs and TSH level are within normal limits. She has joined a grief support group that she plans to attend weekly. The nurse reviews Ms. Woods treatment plan with her.



E.  Aplikasi Teori Levine’s Conservation Model dalam Proses Keperawatan

1.    Pengkajian

a)    Lingkungan internal

Ny.S seorang wanita berusia 46 tahun mengeluh kelelahan, kecemasan dan berdebar-debar. Pasien mempunyai riwayat diabetes mellitus tipe 2, hiperkolesterolemia, osteoporosis dan dermatomiositis. Pemeriksaan tanda vital diperoleh tekanan darah 162/58 mmHg, denyut nadi 120 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 99,5 F. Penilaian fisik mengungkapkan tiroid sedikit diperbesar tanpa kelembutan dengan pemeriksaan laboratorium thyroid-stimulating hormone (TSH): 0,2 mlU/L, Triiodothyronine (T3): 276ng/dL, Free thyroxine (T4): 3NG/dL, dan RAIU: increased uptake within the thyroid. Mata terasa bengkak, dan kulitnya hangat dan lembab.

b)   Lingkungan eksternal

     Ny.S mengatakan dirinya merasa tertekan sejak kematian ibunya yang menderita penyakit Alzeimer. Dan Ny.S membantah memiliki penyakit baru.

c)    Fokus pada konservasi

1)   Konservasi energy

     Ny.S mengeluh kelelahan dengan tekanan darah 162/58mmHg dan respirasi 20 kali/menit, kulit hangat dan lembab dengan suhu 99,5 F, denyut nadi 120 kali/menit.. Riwayat penyakit diabetes mellitus tipe 2 dengan pemeriksaan gula darah acak 319mg/dl, pemeriksaan glycosylated hemoglobin (A1C): 6.9%,  menggunakan insulin Novolog 1 unit/15 karbohidrat dan insulin Lantus 11 unit pada waktu tidur.

2)   Konservasi structural

     Pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa tiroid sedikit membesar tanpa kelembutan, mata terasa bengkak, kulit hangat dan lembab

3)   Konservasi personal

     Ny.S mengatakan merasa tertekan setelah kematian ibunya yang menderita Alzheimer, pasien membantah memiliki penyakit baru.

4)   Konservasi social

     Ny.S merupakan wanita berusia 46 tahun, pasien melakukan visite rutin di bagian endokrinologi

2.    Tropikognosis

Berdasarkan hasil analisis fakta, beberapa keputusan diagnosis atau tropikognosis dalam keperawatan dengan pendekatan NANDA terindentifikasi sebagai berikut:

a)    Pola nafas tidak efektif

b)   Ansietas

c)    Kurang pengetahuan

3.    Intervensi

Intervensi yang diberikan kepada Ny.S berdasarkan Levine’s Conservation Model adalah sebagai berikut (Herdman & Kamitsuru, 2015):

a)    Pola nafas tidak efektif

1)   Monitor tanda tanda vital

2)   Identifikasi pasien perlu adanya pemasangan alat bantu pernafasan

3)   Auskultasi suara nafas, dan catat suara tambahan

4)   Monitor respirasi dan status O2

5)   Memberikan posisi semi fowler

6)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen

b)   Ansietas

1)   Identifikasi tingkat kecemasan

2)   Monitor tanda tanda vital

3)   Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

4)   Intruksikan pasien mengunakan teknik relaksasi

5)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat untuk mengurangi kecemasan

c)    Kurang pengetahuan

1)      Identifikasi tingkat pengetahuan tentang proses penyakit

2)       Memberikan informasi dengan patofisiologi penyakit

3)      Memberikan informasi tentang tanda gejala, penyebab dan proses penanganan dengan mudah

4)      Diskusikan bagi keluarga dalam merubah gaya hidup dan mencegah komplikasi dimasa depan dan pengontrolan penyakit

4.    Evaluasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hasil dari pengujian hipotesis dievalusi dengan menilai respon pasien: pada kasus Ny.S evaluasi respon yang didapatkan yaitu:

a)    Pola nafas tidak efektif

b)   Ansietas

c)    Kurang pengetahuan

F.   Kesimpulan

Aplikasi model konservasi Levine dalam praktik keperawatan sangat bermanfaat karena mengidentifikasi aktivitas dalam setiap komponen keperawatan. Aplikasi pada kasus Hipertiroid dengan penyakit grave sesuai untuk diterapkan. Dalam proses asuhan keperawatan, model konservasi Levine memiliki lima tahap standar asuhan, yaitu pengkajian, tropikognosis, hipotesis, intervensi, dan evaluasi dari respon pasien terhadap intervensi yang dilakukan. Pendekatan NANDA, NOC, dan NIC dapat digunakan dalam proses asuhan keperawatan dalam model ini.





DAFTAR PUSTAKA

Abumaria, I. M., Hastings-Tolsma, M., & Sakraida, T. J. (2015). Levine’s Conservation Model: A Framework for Advanced Gerontology Nursing Practice. Nursing Forum, 50(3), 179–188. https://doi.org/10.1111/nuf.12077

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists and Their Work. Elsevier Mosby (8th ed.). Elsevier. https://doi.org/10.5172/conu.2007.24.1.106a

Diana, T. L., & Biyanti, W. D. (2015). Aplikasi Model Konservasi Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat, 1(4). https://doi.org/2252-8865

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Kurniawan, D. E., Kristianto, H., & Suharsono, T. (2015). Aplikasi Model Konservasi Levine Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Selulitis. In Strategi Pengembangan Profesionalisme Perawat Melalui Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Publikasi Ilmiah (pp. 40–48). https://doi.org/2579-7719

Mariyam, Rustina, Y., & Waluyanti,  fajar T. (2013). Aplikasi Teori Konservasi Levine Pada Anak Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Di Ruang Perawatan Anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1(2), 104–112.

Nugroho, S. T. R. I. (2016). Pengaruh Intervensi Teknik Relaksasi Lima Jari Terhadap Fatigue Klien Ca Mammae di RS Tugurejo, Semarang. Magister Keperawatan.


Pemberian Nutrisi Dan Hidrasi Pada Pasien Kritis

Dalam dunia kesehatan masalah pemberian nutrisi dan hidrasi pada pasien kritis masih menjadi dilema etik khususnya di Intensive Care Unit ...