LATAR
BELAKANG
Sebelum melangkah jauh
sebaiknya perlu diketahui bahwa kepemimpinan dan manajemen adalah dua hal yang
berbeda dari segi keterampilan dan kemampuan. Seorang manajemen merupakan
seorang yang kompetan tetapi tidak selalu mengarah kearah baik, sebaliknya pemimipin
mungkin tidak mahir dalam manajemen tatapi mengarahkan ke tujuan yang
memberdayakan orang (Kantanen et al., 2017). Dalam mengartikan kepemimpinan sudah dijelaskan dalam
Al-Qur’an, sehingga mendapatkan hasil yang tautan dengan pemimpin itu sendiri.
Adapaun ayat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah/2: 20, Artinya” Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui".
Kepemimpinan merupakan
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi orang lain untuk menjadi
pengikutnya. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan berbeda-beda, setiap
pemimimpin memiliki cara sendiri dalam memimpin organisasinya untuk mencapai
tujuan yang sudah ditentukan. Peran pemimpin yang efektif mampu menyusun
strategi kedepan dan berpandangan jauh, mengembangkan diri, kritis, mampu
menyelesaikan masalah, menghormati antar individu dan mempunyai keterampilan
komunikasi dan pendengar bagi orang lain. Fungsi kepemimpinan adalah
membimbing, menjalin komunikasi baik dan melakukan pengawasan, pengorganisasian
menuju tujuan yang sudah ditetapkan (Mugianti, 2016).
Kepemimpinan yang
efektif dalam keperawatan merupakan hal yang sangat penting, kepemimpinan
dibidang keperawatan sangat penting karena merupakan disiplin ilmu yang luas
dalam sistem keperawatan kesehatan (Lorber et al., 2016). Perawat selalu
ditantang untuk berpikir tentang kepemimpinan terutama dalam masalah perubahan
kesehatan yang sangat cepat dan menentukan tindakan yang tepat. Perawat yang
mengetahui gaya kepemimpinan sangat berguna untuk meningkatkan kinerja staff
perawat dan meningkatkan pelayanan yang aman serta efektif (Cope, Vicki; Murray, 2017).
Metode reflektif di
dalam praktek keperawatan bukan merupakan hal yang baru digunakan oleh perawat
di seluruh negara, metode reflektif dalam keperawatan mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan menjadi problem solving sehingga perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan secara aman dan kompeten. Dalam putusan Menkes RI
No.836/Menkes/SK/VI/2005 yang mengatur tentang pedoman pengembangan manajemen
perawat bahwa para tenaga keperawatan disarankan melakukan Diskusi Refleksi
Kasus (DRK) untuk merefleksikan pengalaman klinis mereka. Pembelajaran dengan
metode reflektif merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengingat kembali
suatu kejadian yang pernah terjadi dalam bentuk observasi. Refleksi melakukan
pengajian ulang terhadap kejadian yang terjadi dengan mempertimbangkan proses,
masalah isu dan belum tercapainya tujuan dari strategi yang telah dilakukan.
Metode ini menjadi
dasar untuk mengetahui kembali rencana tindakan dengan melihat variasi
prespektif yang memiliki aspek evaluatif dalam mempertimbangkan dampak dan
hasil yang didapat dimasa depan. Faktor pengalaman juga berpengaruh pada
tingkat refleksi kasus, hasil tersebut didukung oleh (Okamoto et al., 2017) bahwa
pengalaman perawat berhubungan dengan keterampilan praktis mereka. Pembelajaran
reflektif ini dapat mencegah perawat dalam terjebak pada asumsi, kebiasaan dan
rutinitas yang tidak dapat meningkatkan professional perawat (Dubé and Ducharme, 2015).
Salah satu faktor yang
mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan adalah cara kepemimpinan kepala ruangan (Pratiwi et al., 2016). Untuk
menciptakan mutu pelayanan yang baik berbagai teori refleksi kasus dan gaya
kepemimpinan telah dikembangkan dan dapat digunakan, sedikitya ada beberapa
metode pendekatan refleksi kasus seperti menggunakan alur refleksi John, model
refleksi Atkinson dan Murphy ,model refleksi Gibbs dan model refleksi Driscoll.
Dan beberapa gaya kepimpinan yang dapat diaplikasikan dalam pelayanan seperti
kepemimpinan seperti menurut Likert , teori X dan Y, Robert House, Hersey dan
Blanchard, dan Lippits dan K.White.
Masalah yang terjadi
saat ini adalah seringnya perawat tidak menyadari bahwa mereka menerapkan suatu
teori kepemimpinan tetapi tidak tahu batasan yang diterapkan, misalnya dalam
situasi gawat darurat perawat mengambil alih sebagai pemimpin, padahal perawat
tidak diminta secara formal tetapi dapat mengarahkan tim yang terlibat. Dalam
situai tersebut pentingnya memahami konsep kepemimpinan dan pengaruhnya
terhadap pelayanan keperawatan.
A.
Pengertian Kepemimpinan Islam
Kepemimpinan islam sudah dijelaskan dalam al-quran,
terdapat 3 definisi pemimpin diantaranya khalifah, Imāmah, dan Ūlu
al-Amr. Khalifah merupakan penganti nabi Muhammad SAW untuk memimpin umat islam
mengadakan perubahan untuk lebih maju mensejahterakan umat dengan tetap
menganut nilai-nilai islami. Imāmah mulanya berarti pemimpin dalam
shalat, tetapi dapat diartikan sebagai panutan yang membimbing orang lain. dan Ūlu
al-Amr dapat dijelaskan sebagai ”pemilik kekuasaan” atau ”pemilik urusan” dalam
hal ini menjelaskan bahwa orang yang berhak mengatur suatu urusan dan
mengendalikan keadaan.
Sifat-sifat kepemimpinan yang efektif
diantaranya mempunyai sifat bertakwa kepada Allah SWT, amanah, shiddiq,
fathonah, tabligh, tegas dan teguh dalam pendirian, lemah lembut, pemaaf,
senang bermusyawarah, bertawakal kepada Allah, adil, sabar dan bertanggung
jawab. Berkenaan dengan kriteria kepemimpinan disebutkan dalam ayat Al-Quran
yaitu: QS. al-Anbiyā’ (21): 73 artinya ”kami telah menjadikan mereka itu sebagai
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap orang
adalah pemimpin baik memimpin orang lain maupun memimpin untuk dirinya sendiri.
QS. al-Nisa (4): 59 Artinya “Hai orang-orang
yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
B.
Pengertian Kepemimpinan
Konsep
pemimpin dan menajeman merupakan istilah yang digunakan secara sinonim, namun
berbeda. Perbedaannya pemimpin tidak selalu ditunjuk oleh seseorang, mungkin
tidak menjadi bagian organisasi secara hararki, tujuannya memberdayakan orang
dan menekankan pada hubungan interpersonal (Cope, Vicki; Murray, 2017). Kepemimpinan
adalah unsur terpenting dan merupakan penentu kelancaran sistem pelayanan di
rumah sakit, karena kepimimpinan inti dari manajemen organisasi sehingga aktifitas kepemimpinan menunjukan pola gaya memimpin
yang berbeda-beda (Harahap, 2016). Menurut Nursalam, (2014) kompetensi yang
harus dimiliki oleh manajer keperawatan dalam meningkatkan kepemimpinannya pada
abad 21 memiliki 7 kategori yaitu: 1.Kepemimpinan, 2.Perencanaan dan
pengambilan keputusan, 3.Hubungan masyarakat/komunikasi, 4.Anggaran,
5.Pengembangan, 6.Personalitas, 7.Negosiasis.
Sebagai
perawat dituntut memiliki kiat dan strategi dalam menyelesaikan program yang
dipenagaruhi oleh pergantian atau perubahan dalam organisasi sehingga
pendekatan adalah suatu harga (PRICE) P:
Pinpoint yaitu menentukan area kinerja, R: Record yaitu mengukur kinerja, I:
Involve yaitu sepakat dengan tujuan dan stategi yang akan ditetapkan, C: Coach
yaitu mengamati kinerja dan mengelola tanggung jawab, E: Evaluate yaitu evalusi
kinerja dan menentukan arah kedepan. Kepemimpinan yang efektif diterapkan oleh
kepala ruang akan mempengaruhi perawat dalam menerapkan budaya dan motivasi
dalam keselamatan pasien (Pratiwi et al., 2016).
1.
Macam-Macam
Teori Kepemimpinan :
Di era globalisasi sekarang teori kepemimpinan sudah
banyak dikembangankan dan dapat diaplikasikan, berikut pengembanga teori
menurut Nursalam, (2014) yaitu:
a)
Trait
Theory (Teori
Bakat)
Penjelasan teori ini bahwa setiap orang adalah pemimpin
(yang dibawa sejak lahir) yang mempunyai karakteristik tertentu yang membuat
lebih baik dari pada orang lain. Teori ini memiliki
karakteristik tentang intelegensi, personalitas dan kemampuan.
b)
Teori Perilaku
Teori ini menekankan apa yang dilakukan pemimpin dan
bagaimana pemimpin menjalankan fungsinya, teori ini dalam rentang antara
perilaku otoriter ke demokratis atau awalnya fokus pada suatu produksi ke fokus
pegawai.
c)
Teori Kontingensi Dan Situasional
Teori yang menekankan bahwa melaksanakan tugasnya dengan
mengombinasikan antara faktor bawaan, perilaku dan situasional. Unsur
utama manajer adalah kemampuan dalam manajer dan penghargaan terhadap kelompok.
hubungan antara kelompok manajer dan pegawai merupakan hal penting sehingga
penerapan gaya kepemimpinan situasional yang paling tepat.
d)
Teori Kontemporer
Teori
menggunakan 4 komponen penting dalam pengolahannya, seperti manajer/pemimpin,
staf dan atasan, pekerjaan, serta lingkungan. Dalam menerapkan teori ini harus
menerapkan 4 komponen tersebut dan perlu didukung dengan teori motivasi,
interaksi dan transformasi.
e)
Teori Motivasi
Teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Maslow,
Aldefer, Herzberg, McCelland, Adams, dan V. Vroom. Berdasarkan isinya terbagi
menjadi teori Hierarki kebutuhan, ERG, Teori dua faktor, teori 2 faktor. Berdasar
proses diantaranya teori keadilan, harapan, penguatan dan teori belajar.
Berdasar masalah motivasi diantaranya pembagian tugas tidak jelas, hambatan
dalam pelaksanaan, kurangnya penghargaan dan kurangnya dukungan organisasi.
f)
Teori Z
Teori yang dikenalkan oleh Ouchi (1981) merupakan
pengembangan dari teori Y (McGregor, 1460) yang mendukung gaya kepemimpinan
demokratis. Komponen teori mencakup pengambilan keputusan dan
kesepakatan, menempatkan sesuai keahlian, menekankan keamanan pekerjaan,
promosi yang lambat dan pendekatan secara holistic kepada staff.
g)
Teori Interaktif
Teori bahwa
manusia sebagai suatu sistem yang terbuka dan selalu berinteraksi dengan
sekitar dan berkembang secara dinamis. Asumsi teori mencakup 1. Manusia
memiliki karakteristik yang kompleks 2. Motivasi berkembang sesuai perubahan
waktu 3. Tujuan berubah disaat perubahan situasi 4. Produktifitas dipengaruhi
oleh penyelelesaian tugas 5. Tidak ada strategi efektif bagi pemimpin dalam
situasi tertentu.
2. Gaya
Kepemimpinan
a)
Menurut para ahli terdapat beberapa gaya yang ditetapkan pemimpin di suatu
organisasi seperti menurut Tannenbau dan Warrant H. Schmitdt, Likert, teori X
dan Y, Robert
House, Hersey dan Blanchard, Lippits and K. White, dan menurut Gillies (Nursalam, 2014). Berikut gaya kepemimpinan menurut Lippits dan
K.White yang dibagi menjadi 3 gaya:
1)
Gaya
Kepemimpinan Otoriter
Gaya pemimpin yang kewenangan, keputusan, kebijakan
mutlak berada pada pemimpin. Komunikasi dari pemimpin ke bawahan,
pengawasan seperti sikap, tingkah laku perbuatan diawasi dengan ketat. Tidak
ada kesempatan bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan. Lebih banyak
kritik dan menuntut pada kesempurnaan serta kesetiaan tanpa syarat. Cenderung
dengan menggunakan ancaman dengan sikap yang kasar.
2)
Gaya
Kepemimpinan Demokratis
Gaya yang dapat mempengaruhi
orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Ciri-ciri kepemimpinan demokratis adalah kewenangan tidak mutlak
dari pemimpin, sebagian kewenangan dilimpahkan ke bawahan, keputusan dibuat
secara kesepakatan bersama, komunikasi dan pengawasan secara baik dan wajar,
banyak kesempatan bawahan untuk menyampaikan saran, pemimpin mendorong prestasi
bawahan sesuai batasan dan terdapat rasa saling percaya, menghormati dan
menghargai.
3)
Gaya
Kepemimpinan
Liberal/Laissez Faire
Yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain agar bekerja sama
mencapai tujuan dengan lebih banyak menyerahkan pelaksanaan kegiatan kepada
bawahan. Ciri kepemimpinan ini adalah kewenangan, keputusan, kebijaksannan
lebih banyak dilimpahkan ke bawahan, komunikasi atasan dan bawahan apabila
diperlukan, hampir tidak ada pengawasan terhadap bawahan. Kepentingan
pribadi lebih penting dari pada kelompok dan tanggung jawab keberhasilan
dipikul oleh perorangan.
b)
Selain
gaya tersebut ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan di dalam
pelayanan keperawatan, gaya tersebut sebagian besar dibagi menjadi kepemimpinan
relasional dan kepemimpinan berfokus pada tugas, berikut gaya kepemimpinan yang
dapat diaplikasikan (Cope, Vicki; Murray, 2017):
1) Kepemimpinan
Relasional
Kepemimpinan
yang berfokus pada orang dan hubungan, berhubungan dengan kepuasan staff,
komitmen organisasi, kesehatan dan kesejahteraan staff, pengurangan stress,
kepuasan kerja, kerja efektif dan hasil efektif.
a)
Transformasional
Pusat
keperawatan pada keperawatan karena terdapat budaya kesehatan, kepuasan staff
dan hasil pasien. Pemimipin memotivasi dan pemberdaaan serta menginspirasi
dengan mengidentifikasi dan mengejar visi jangka panjang yang berkaitan dengan
tujuan organisasi dan karir individu perawat. Menggunakan pendekatan demokratis
dan berbagi tanggung jawab dengan anggotanya. Mendapatkan kepercayaan dengan
hubungan mendengarkan, menangapi dan berempati dengan anggota.
b)
Kecerdasaan Emosional
Mempunyai
4 konsep yaitu: kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen diri serta
keterampilan sosial. Pemimipin yang cerdas emosi sensitive terhadap
kesejahteraan, perasaaan dan kesehatan sosial dan kemudian mengembangkan
hubungan efektif untuk mengarahkan anggotanya. Mampu membuat keputusan yang
rasional untuk melakukan perubahan dan kerjasama untuk melahirkan kerjasama
tim/kolaborasi. Konsep ini paling efektif menyelesaikan masalah karena
kemampuan melihat situasi dari mata orang lain dalam mengelola stress kerja.
c)
Kepemimipinan Rensonan
Konsep
yang didasarkan pada kecerdasan emosional dan kesadaan, proses mendekati
masaalah dengan fokus pada sikap terbuka dan tanpa penghakiman. Pemimipin yang
berusaha memberdayakan dengan meningkatkan percaya diri anggota, membangun
kepercayaan dan dengan emosi yang selaras pada organisasi. Memiliki artribut
kecerdasan emosional kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen diri serta
manajemen hubungan yang berarti efektif jika terjadi konflik dan mempu
menyelesaikan masalah dengan demokrasi.
d) Kepemimpinan
Parsitipasif
Konsep
yang menghargai pengetahuan, pengalaman, pendapat individu dalam memutuskan
keputusan. Gaya ini didasarkan rasa hormat dan melibatkan masyarakat secara
luas dan efektif dalam mengoptimalkan kekuatan dari prespektif orang banyak
untuk mengatasi tantangan dalam organisasi.
e)
Kepemimpinan Otentik
Definisi
konsep ini adalah sikap pola perilaku pemimimpin yang transparan dan etis dalam
keterbukaan dalam berbagai informasi yang dibutuhkan dan menerima
masukan-masukan dalam membuat keputusan. Pemimpin ini memiliki 4 komponen yakni
kesadaran diri, proses yang seimbang, diinternalisasi dan transparansi
relasional dan sudah terbukti dapat meningkatkan kolaborasi di pelayanan
kesaehatan (Regan et al., 2016)
2) Kepemimpinan
Berfokus Pada Tugas
a) Kepemimipinan
Transaksional Dan Otokratis
Kemimipinan
transaksional biasanya tujuan bersifat jangka pendek, terdapat hadiah untuk
menyelesaikan tugas sehingga menyebabkan motivasi pada pengikut. Kepemimipinan
ini efektif dalam pengaturan bisnis tetapi tidak dalam keperawatan karena
menyebabkan pendekatan saaat perawatan pasien berfokus pada penyelesaian tugas
saja. Bentuk transaksional adalah kepemimipinan otokratis dimana berorientasi
pada pengendalian dan close-minded sehingga menuntut pada ketaatan, kesetiaan
dan ketaatan pada aturan, keuntungan para pemimipin ini adalah mempromosikan
struktur dan memprioritaskan kebutuhan.
b) Kepemimipinan
Laissez-Faire
Model
yang berfokus pada tugas kepemimipinan pada saat terjadi krisis. Pendekatan
konsep “lepas tangan” dengan meninggalkan keputusan kepada orang lain, biasanya
model ini dipakai karena hendak mengkosongkan posisi sehingga keputusan
mengarah pada orang lain atau orang yang mengantikannya. Namun jika anggota
yang mampu memotivasi diri sendiri dan sangat kompeten, tingkat pendekatan
kebebasan menyebabkan hasil yang bagus (Vann et al., 2014).
c) Kepemimpinan
Instrumental
Kepimimpinan
ini berfokus memilih strategi yang cocok bersama dengan sumber daya yang tepat,
dalam mencapai tujuan. Konsep ini berada diantara konsep kepemimipinan
transformasional dan transaksional. Pemimipin mengambil gambar besar dari
konsep transformasional dan fokus gambar kecil dengan masalah yang terjadi di
lingkungan kerja. Pemimpin ini efektif dalam manjemen karena mempertahankan
produktifitas anggotanya sehingga tugas dalam organisasi dapat diselesaikan.
3. Reflective
Cycle
Reflektif merupakan belajar dari pengalaman, dengan
mengingat serta mengevaluasi untuk meningkatkan pengetahuan praktek masa depan
(Husebø et al., 2015). Makalah ini akan membahas menggunakan alur refleksi
dengan menggunakan Model Gibbs. Model Gibbs ini
mempunyai 6 tahapan, yaitu description, feelings, evaluation, analysis,
coclusion, dan action plan (Bulman and Schutz, 2013).

Gambar 1. Gibs
Reflective Cycle
1) Description
Pada tahapan ini merupakan
deskripsi dari pengalaman. Menjelaskan
dengan detil pengalaman yang akan direfleksikan termasuk: dimana Anda saat
kejadian, siapa lagi yang terlibat/ada di situ, mengapa Anda ada disitu, apa
yang Anda lakukan, apa yang orang lain lakukan, dalam konteks apa pengalaman
tersebut terjadi, apa yang terjadi, apa peranan Anda dalam pengalaman ini dan
apa peranan orang lain yang ada di situ, apa hasil dari pengalaman itu.
2) Feelings
Identifikasi
dan telaah reaksi, perasaan dan pikiran yang muncul dan Anda rasakan saat
kejadian. Cobalah untuk jujur mengenai apa yang anda rasakan dan pikirkan
meskipun hal ini mungkin tidak mudah.Cobalah untuk mengingat dan mengeksplorasi
apa yang terjadi di dalam pikiran anda, Termasuk : bagaimana anda merasa ketika
kejadian ini terjadi, apa yang anda pikirkan saat itu, bagaimana perasaan anda,
bagaimana perasaan orang lain, bagaimana perasaan anda dari apa yang terjadi,
apa yang anda pikirkan tentang hal itu sekarang.
3) Evaluation
Mengevaluasi
atau membuat keputusan tentang apa yang telah terjadi, Pertimbangkan apa yang
baik tentang pengalaman dan apa yang buruk tentang pengalaman.
4) Analysis
Melakukan analisis terhadap situasi
ini. Ide-ide di luar pengalaman dapat digunakan sebagai pengalaman untuk
membantu.
5)
Conclusion
Kesimpulan
dari pengalaman dan analisis yang telah dilakukan.
6)
Action
plan
Melakukan yang berbeda pada situasi
semacam ini dan ketika waktu berikutnya apa yanag akan dilakukan.
Langkah-langkah apa yang dapat diambil atas dasar apa yang telah dipelajari.
C.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulisan makalah ini yaitu untuk merefleksikan
penyelesaian kasus disesuaikan dengan gaya kepemimpinan dengan menggunakan
metode reflevtive learning.
D.
Tujuan
Tujuan umum : Mengetahui cara menyelesaikan kasus dengan
menggunakan metode reflective learning
diterapkan dengan gaya kepemimpinan seseorang.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui teori kepemimpinan dan gaya kepemimpinan
2. Mengetahui alur reflektive learning menggunakan
model Gibbs reflective cycle
3. Merefleksikan penyelesaian kasus dengan menggunakan model
Gibbs reflective cycle disesuaikan dengan gaya kepemimpinan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KASUS
Pengalaman yang
saya alami pada saat praktek co-ners dirumah sakit besar di Surakarta dimana
tempatnya berada dibangsal. Dalam sistem pelayanan keperawatan dibangsal
tersebut mahasiswa praktikan dibagi berdasarkan tim dan disesuaikan dengan
nomer kamar pasien. Fenomena kejadian yang terjadi dimana ada beberapa teman,
praktikan B yang tidak mau membantu rekan praktikan A dan membiarkan praktikan
A kerepotan sendirian tanpa dibantu dengan berkata “kan kita sudah dibagi”.
Kemudian setelah beberapa menit praktikan B yang berkata tadi mengalami
kerepotan dan meminta bantuan kepada praktikan A. Hasilnya praktikan A yang
dimintai bentuan berkata “kerjakan sendiri, salah siapa tadi pas aku kerepotan
tidak kamu bantu, sekarang rasakan” dan akhirnya terjadi adu argument antar
praktikan yang membuat kolaborasi terganggu.
1. Description
Kejadian
tersebut saya sebagai rekan dari praktikan yang saling beradu argument tersebut.
Kejadian itu terjadi di bangsal kelas 3 yang memiliki pasien banyak tetapi
tenaga keperawatan terlalu sedikit sehingga praktikan dibentuk dengan model tim
yang sesuai dengan kamar pasien. Fenomena yang terjadi praktikan A yang
mengalami kerepotan meminta bantuan kepada praktikan B dengan menjawab “kan
kita sudah dibagi”. Kemudian beberapa menit praktikan B minta bantuan ke
praktikan A tetapi dibalas “kerjakan sendiri, salah siapa tadi pas aku
kerepotan tidak kamu bantu, sekarang rasakan” dan akhirnya terjadi adu argument
dan menyebabkan kolaborasi antar praktikan terganggu dan membuat rekan
praktikan lainya merasa canggung.
2. Feelings
Sebagai
co-ners dan merupakan teman dari praktikan yang beradu argument saya merasa
kecewa menyaksikan teman antar co-ners saling beradu argument yang tidak baik
jika diaplikasikan di tempat kerja mendatang. Dan saya merasa khawatir jika
kebiasaan tersebut dibawa sampai ketempat kerja yang akan dating. Perasaan yang
mungkin dialami teman co-ners pasti sakit hati dengan tingkah laku yang
masing-masing lakukan. Saya merasa keheranan dengan teman co-ners padahal
mereka adalah teman satu profesi, kenapa rasa membantu sesama teman sejawat
masih kurang.
3. Evaluation
Saya
berfikir bahwa tindakan yang dilakukan oleh teman teman co-ners tersebut
sangatlah bertentangan dengan prinsip kolaborasi dengan teman sejawat dan
prinsip untuk saling menghargai terhadap rekan sejawat. Saya menyadari bahwa
pengalaman yang masih kurang dan pendidikan yang kurang dari institusi membuat
mereka harus beradaptasi dengan situasi dilahan klinis dimana terdapat rekan
sejawat dari institusi lain. Jika kejadian tersebut masih terbawa hingga tahap
kerja akan mempengaruhi mutu pelayanan di rumah sakit.
4. Analysis
Co-ners
yang saling berargumen mungkin disebabkan karena efek streesor beban kerja yang
tinggi, karena dilahan praktek tersebut sangat sedikit perawat dibandingkan
dengan jumlah pasien. Dengan beban kerja yang berat berpengaruh terhadap
kinerja perawat (Yohana et al., 2017). Penyebab
lainnya adalah kurang saling mengenal antar co-ners yang membuat kolaborasi
antar teman sejawat masih kurang hingga menyebabkan masalah. Padahal untuk
meningkatkan mutu dalam pelayanan dibutuhkan kerja sama yang sangat solid, dan
tingkat kepuasaan pasien juga terpengaruh oleh kinerja perawat dalam melakukan
pelayanan kesehatan (Anggrianni, 2017). Kolaborasi dan
komunikasi harus terbina sejak dini sehingga ketika dilahan praktik seorang
perawat dapat berinteraksi dengan nyaman dan harmonis. Hal ini akan berdampak
positif pada mutu pelayanan keperawatan. Selain itu bercermin dan intropeksi
diri merupakan hal yang terpenting agar kejadian tersebut tidak terulang
kembali yang berdampak pada teman sejawat dan kualitas pelayanan kesehatan.
5. Conclusion
Dari
fenomena kejadian diatas dapat disumpulkan bahwa pendidikan tentang kolaborasi
maupun komunikasi antar rekan sejawat sangatlah diperlukan demi terciptanya
mutu pelayanan yang baik. Kurang pemahaman antar rekan sejawat menyebabkan
kegagalan dalam komunikasi sehingga mutu pelayanan kesehatan menjadi kurang
optimal. Hubungan antar perawat yang kurang optimal menyebabkan tujuan tidak
tercapai. Kemampuan empati kepada rekan sejawat lainya perlu dikembangkan sehingga
mutu pelayanan dapat meningkat dan berakibat kepuasan pasien juga meningkat.
6. Action
plan
Kejadian
yang terjadi merupakan pengalaman yang berharga, sebagai agen pembaharu dan
juga nantinya sebagai tenaga pendidik calon-calon perawat dimasa depan. Perlu
ditekankan bahwa pemahaman dan kemampuan kolaborasi/komunikasi antar teman
sejawat ditingkatkan, dengan cara menanamkan pemahaman tersebut sejak dini. Dalam lingkungan
kerja, terutama kerja
tim, komunikasi efektif sangat
diperlukan untuk mendapatkan kinerja yang efektif (Widyakusumastuti and Fauziah, 2016). Perlu
dilakukan pembelajaran dengan metode demonstrasi dan simulasi sehingga perawat
tahu betul bagaimana menjalin komunikasi dan kolaborasi yang baik terhadap
rekan sejawat.
Penyelesaian
masalah tersebut tidak hanya dilingkup pendidikan saja tetapi dalam lahan
praktek tentunya harus diberikan sosialisasi tentang bagaimana sikap yang harus
dilakukan dengan metode tim tersebut. Analisis dari kasus diatas menurut
penulis, kasus tersebut sesuai dengan teori kepemimpinan “Teori Situasional”
yaitu seorang pemimpin memiliki tindakan yang terbaik berdasarkan situasi. Gaya
kepemimpinan yang dapat saya aplikasikan adalah gaya kepemimpinan “kecerdasan
emosional” dimana seorang pemimpin kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen
diri serta keterampilan sosial. Pemimipin yang cerdas emosi sensitive terhadap
kesejahteraan, perasaaan dan kesehatan sosial dan kemudian mengembangkan
hubungan efektif untuk mengarahkan anggotanya. Mampu membuat keputusan yang
rasional untuk melakukan perubahan dan kerjasama untuk melahirkan kerjasama
tim/kolaborasi. Konsep ini paling efektif menyelesaikan masalah karena
kemampuan melihat situasi dari mata orang lain dalam mengelola stress kerja.
Dalam
masalah ini saya sebagi rekan menggunakan kepemimpinan “kecerdasan emosional”
karena saya tidak mempunyai kewenangan yang kuat terhadap rekan sejawat, yang
bisa saya lakukan adalah menjadi penengah antar rekan dengan sikap saling
menghormati, menghargai dan rasa saling percaya sehingga masalah yang terjadi
segera terselesaikan.
BAB
III
KESIMPULAN
A. SIMPULAN
Teori Kepimpinan yang dapat
diaplikasikan dengan kasus diastas
adalah “Teori Situasional” yaitu pemimpin memilih tindakan yang terbaik berdasarkan
situasi yang dihadapi. Gaya kepemimpinan paling sesuai dengan posisi pemimpin dalam kasus tersebut adalah gaya kepemimpinan “kecerdasan
emosional” karena dalam pemimpin tidak memiliki sepenuhnya kewenangan atas
rekan sejawat, pemimpin hanya dapat memfasilitasi dengan mendorong ide-ide, dan
memberikan rekan sejawat kesempatan untuk menyampaikan saran sehingga
didapatkan keputusan yang rasional. Dengan sikap yang saling menghormati,
menghargai dan rasa saling percaya akan dapat menyelesaikan masalah dari pada
bertindak dengan menentukan kewenangan sendiri.
B. SARAN
Diharapakan pembaca mengetahui dan memahami teori kepemimpinan dan gaya kepemimpinan,
sehingga dalam menghadapi
masalah dapat menggunakan solusi atau langkah yang tepat agar
tercapinya tujuan yang diinginkan. Seperti
mengaplikasikan teori refletive
learning dari Gibbs, Kolb, Fishbone atau yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-quran
Anggrianni, S. (2017), Evaluasi Kepuasan Pasien Rawat Inap Dan Rawat
Jalan Terhadap Pelayanan Gizi Pasien Diet Diabetes Mellitus Di Rsu Pku
Muhammadiyah Bantul Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bulman, C. and Schutz, S. (2013), Reflective Practice in
Nursing, Nurse Education Today, Wiley-Blackwell, London.
Cope, Vicki; Murray, M. (2017), “Leadership styles in
nursing”, Nursing Standard, Vol. 31 No. 43, pp. 61–69.
Dubé, V. and Ducharme, F. (2015), “Nursing reflective
practice: An empirical literature review”, Journal of Nursing Education and
Practice, Vol. 5 No. 7, pp. 91–100.
Harahap, R.E.Y. (2016), “Hubungan Kepemimpinan
Transformasional dan Disiplin Kerja dengan Kinerja Perawat Rumah Sakit TK.II
Putri Hijau Medan”, Analitika, Vol. 8 No. 2, pp. 108–114.
Husebø, E.S., O’Regan, S. and Nestel, D. (2015), “Theory for
Simulation Reflective Practice and Its Role in Simulation”, Clinical
Simulation in Nursing, Elsevier Inc, Vol. 11 No. 8, pp. 368–375.
Kantanen, K., Kaunonen, M., Helminen, M. and Suominen, T.
(2017), “Leadership and management competencies of head nurses and directors of
nursing in Finnish social and health care”, Journal of Research in Nursing,
Vol. 22 No. 3, pp. 228–244.
Lorber, M., Treven, S. and Mumel, D. (2016), “The Examination
of Factors Relating to the Leadership Style of Nursing Leaders in Hospitals”, Naše
gospodarstvo/Our Economy, Vol. 62 No. 1, pp. 27–36.
Mugianti, S. (2016), Manajemen Dan Kepemimpinan Dalam
Keperawatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Nursalam, M.N. (2014), Manajemen Keperawatan, edited
by Suslia, A., Salemba Medika, Jakarta.
Okamoto, R., Koide, K., Maura, Y. and Tanaka, M. (2017),
“Realities of Reflective Practice Skill among Public Health Nurses in Japan and
Related Learning and Lifestyle Factors”, Open Journal of Nursing, Vol. 7
No. 5, pp. 513–523.
Pratiwi, A., Hidayat, A.A. and Agustin, R. (2016), “Melalui
Kepemimpinan Mutu Kepala Ruangan (Implementation of Quality Management System
of Nursing Care Through Quality Leadership of Nurse Unit Manager) * Departemen
of Nursing , Faculty of Health Science , Muhammadiyah University of Surabaya Jl
. Sutore”, Ners, Vol. 11 No. Azwar, pp. 1–6.
Regan, S., Laschinger, H.K.S. and Wong, C.A. (2016), “The
influence of empowerment, authentic leadership, and professional practice
environments on nurses’ perceived interprofessional collaboration”, Journal
of Nursing Management, Vol. 24 No. 1, pp. E54–E61.
Vann, B.A., Coleman, A.N. and Simpson, J.A. (2014),
“Development of the Vannsimpco Leadership Survey : A delination of hybrid
leadership styles”, Swiss Business School Journal of Applied Business
Research, Vol. 3, pp. 28–39.
Widyakusumastuti, R. and Fauziah, N. (2016), “Hubungan Antara
Komunikasi Interpersonal Dengan Burnout Pada Perawat Rumah Sakit Umum Daerah (
Rsud ) Kota Semarang”, Jurnal Empati, Vol. 5 No. 3, pp. 553–557.
Yohana, Antono and Eka. (2017), “Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kinerja perawat bagian rawat inap di RS Telogorejo
Semarang”, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 5, pp. 142–149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar